DEFINISI HADITS
1. Pengertian Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki
arti;
1) al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim.
Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada
kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah
diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Jamaknya
adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak
yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits
yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul
dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang
lainnya.
Ada juga
yang berpendapat ahadits bukanlah jamak dari hadits, melainkan
merupakan isim jamaknya.
Dalam hal
ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا
بحديث مثله إن كانوا صادقين.
“maka
hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang
yang benar” (QS.
At Thur; 24).
Adapun
hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah,
yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik
setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz
hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut
ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau,
yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh
karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan
hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
2. Pengertian sunah
Sunah
menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau
tidak. Jamaknya adalah sunan.
Sunah
menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup,
baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
Sunah
menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari
Nabi-selain al Qur’an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang
bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
Suah
menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw,
yang bukan fardlu ataupun wajib.
3. Pengertian khabar
Khabar
menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar
menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh
karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai
khabar. Dan menurutnya khabar murodif dengan hadits.
Sebagian
ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain
Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin
dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun
secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
1. Kata khabar sinonim dengan hadits;
2. Khabar adalah perkataan, tindakan,
dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah
perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
3. Khabar mempunyai arti yang lebih
luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan
khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits.
4. Pengertian
Atsar
Secara
etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai
definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar
adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
B. Pengertian al-Quran, Hadits Qudsi,
dan Hadits Nabawi
1)
Pengertian al-Qur’an
Para ulama
berbeda pendapat terkait dengan pengertian al-Quran dari segi etimologi.
Muhammad Ali Daud dalam kitab Ulum al-Quran wa al-Hadits, menyebutkan
enam pendapat berkenaan pengertian al-Quran dari segi etimologi ini, yaitu:
1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa
al-Quran merupakan nama yang independent, tidak diderivasi dari kosakata
apapun. Ia merupakan nama yang khusus digunakan untuk firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad.
2. Menurut Imam al-Fara’ kata al-Quran
diderivasi dari noun (kata benda) qarain, bentuk jama’
(plural) dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Menurutnya, firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena
sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain, sehingga seakan-akan ia
menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain tersebut.
3. Imam al-Asy’ari dan sebagian ulama
yang lain menyatakan bahwa kata al-Quran diderivasi dari masdar (abstract
noun, kata benda abstrak) qiran yang mempunyai arti bersamaan atau
beriringan. Menurut mereka, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
disebut dengan al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ada di dalamnya
saling beriringan.
4. Imam al-Zajaj berpendapat bahwa kata
al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qur-u yang mempunyai
arti kumpulan. Menurut al-Raghib, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dinamakan dengan al-Quran karena ia mengumpulkan intisari beberapa
kitab yang diturunkan sebelum al-Quran.
5. Sebagian ulama mutaakhirin
tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa al-Quran bersumber dari
fi’il (verb, kata kerja) qaraa yang mempunyai arti
mengumpulkan dengan dalil firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya”. (Q. S
al-Qiyamah: 17).
Menurut
mereka, kata kerja qaraa mempunyai arti memperlihatkan atau memperjelas.
Dengan demikian, orang yang sedang membaca al-Quran berarti ia sedang
memperlihatkan dan mengeluarkan al-Quran.
6. Menurut al-Lihyani kata al-Quran
diderivasi dari fi’il qaraa yang mempunyai arti membaca. Oleh karena
itu, kata al-Quran merupakan masdar yang sinonim dengan kata qiraah.
Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat.
Adapun
definisi al-Quran secara terminologi adalah Firman Allah yang berbahasa Arab,
dapat melemahkan musuh, diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis di dalam
mushaf, dan ditranformasikan secara tawattur
serta membacanya termasuk ibadah.
Contoh wahyu al-Quran adalah:
قل هو الله احد الله الصمد لم يلد ولم
يولد إلخ .سورة الاخلاص
2. Pengertian Hadits Qudsi
Secara
etimologi Hadits Qudsi merupakan nisbah kepada
kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Sedangkan secara terminologis, pengertian hadits qudsi
terdapat dua versi. Yang pertama hadits qudsi merupakan kalam Allah SWT (baik
dalam sturiktur maupun substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai penyampai
Yang kedua hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari
perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai
قال الله تعالى. .
3. Pengertian Hadits Nabawi
Adapun menurut istilah, pengertian
hadis nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Contoh hadist nabawi yang
berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi SAW,
انما الاعمال بالنية.......... . اخرجه البجخارى فى صحيحه
Contoh hadist berupa perbuatan (fi'li) ialah
كان النبي اذا اراد ان ينام وهو جنب غسل فرجه وتوضأ للصلاة.
حديث عائشة
Contoh hadist berupa ketetapan
(taqriri) ialah
ان خالته اهدت الى رسول الله سمنا واضبا واقطا فاكل من السمن
والاقط واكل على مائدته
, ولو كان حراما
مااكل على مائدة رسول الله. حدبث ابن عباس
Contoh hadist berupa sifat (wasfi) ialah
كان رسول الله ربعة ليس بالطويل ولابالقصر حسن الجسم... الخ .
حديث انس ابن مالك
Setelah
kita mengetahui masing-masing dari definisi al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits
Nabawi, maka ada baiknya kita juga membahas tentang perbedaan ketiga hal
tersebut. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadits Qudsi:
a) Al-Quran mampu mengungguli sastra
Arab yang waktu itu merupakan sastra yang terbaik, sehingga orang Arab tidak
mampu membuat karya sastra yang seindah dan sebaik
al-Quran, walaupun hanya satu surat. Tidak demikan halnya dengan Hadits Qudsi.
b) Lafadz dan arti al-Quran berasal
dari Allah. Sedangkan Hadits Qudsi, artinya berasal dari Allah, akan tetapi
lafadznya dari Nabi Muhammad.
c) Tidak boleh meriwayatkan al-Quran
secara makna. Adapun Hadits Qudsi, boleh meriwayatkannya secara makna.
d) Al-Quran tidak boleh dipegang oleh
orang yang mempunyai hadats. Al-Quran juga tidak boleh dibaca oleh orang
yang mempunyai hadats besar. Dua larangan ini tidak berlaku di dalam
Hadits Qudsi.
e) Al-Quran harus dibaca di dalam
shalat. Sedangkan Hadits Qudsi, apabila dibaca di dalam shalat maka dapat
menyebabkan shalat menjadi batal.
f)
Al-Quran ditransformasikan secara tawattur.
Oleh karena itu, ia berstatus qath’i al-tsubut. Adapun mayoritas Hadits
Qudsi ditransformasikan secara ahad (individual), sehingga ia berstatus dhanni
al-Tsubut.
g) Orang yang mengingkari al-Quran
terkategorikan sebagai orang kafir, karena al-Quran bersifat qath’i al-Tsubut.
Sedangkan orang yang mengingkari Hadits Qudsi tidak dianggap orang kafir,
karena Hadits Qudsi bersifat dhanni al-Tsubut.
h) Membaca al-Quran termasuk ibadah.
Satu huruf al-Quran sebanding dengan 10 kebaikan. Hal ini tidak berlaku pada
Hadits Qudsi.
i)
Di dalam al-Quran terdapat penamaan
ayat dan surat untuk kalimat-kalimatnya. Tidak demikian dengan Hadits Qudsi.
j)
Pebedaan antara Hadits Nabawi dengan
Hadits Qudsi antara lain:
k) Hadits Nabawi dinisbahkan dan
disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi dinisbahkan kepada
Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung lidah dari-Nya.
l)
Bentuk Hadits Nabawi ada dua macam: 1. Tauqifi, yaitu hadits yang kandungannya
diterima oleh Nabi Muhammad melalui wahyu, kemudian beliau sampaikan kepada
umatnya. 2. Taufiqi, yaitu hadits yang tercipta murni dari pemahaman
Nabi Muhammad terhadap al-Quran, atau dari perenungan dan ijtihad beliau. Adapun keseluruhan kandungan Hadits Qudsi bersumber dari
Allah.
Contoh hadits Qudsi adalah
عن
النبي قال, قال الله تعالى ثلاثه انا خصمهم يوم القيامه… الخ.رواه ابو هريرة
Abu
al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir al Usul al Hadits
fi IlmiHadits al Rosul Bairut; Libanon. 1992. hal. 24
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 1999.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal 1
Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi
al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif,
hlm 51.
Dalam pembahasan ini, penulis sengaja tidak menguraikan
satu-persatu arti etimologis dari kata Hadits dan Qudsi, akan tetapi hanya
menjelaskan arti etimologis dari kata Qudsi, karena dalam pembahasan
sebelumnya, penulis telah menyinggung arti etimologis dari kata hadits.
Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi
al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif,
hlm 53.
Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi
al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif,
hlm 55.
Keterangan tersebut terdapat di footnote (catatan
kaki) Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,
hlm 29.
Keterangan tersebut terdapat di footnote (catatan
kaki) Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa
Musthalahuhu, hlm 30.
Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi
al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif,
hlm 54.
Pengertian,
Pembagian, dan Contoh Hadits Dhoif
Menurut al-Nawawi dan juga mayoritas
ulama ahli hadits, hadits dloif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat
shohih dan hasan. Hadits dloif dapat diklasifikasikan menjadi dua;
a) Dhaif disebabkan tidak memenuhi
syarat itishol al sanad.
Dhaif
jenis ini di bagi lagi menjadi :
1) Hadits Muallaq
Yaitu
hadits yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara
berurutan maupun tidak. Contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى
هريرة عن النبى “لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq
karena Imam bukhori langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik
tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى
يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan
rawi sebelum Aisyah
2) Hadits Mursal
Yaitu
hadits yang sanadnya dari tabi’in meloncat langsung kepada Nabi. Menurut Imam
Malik dan Abu Hanifah hadits ini boleh dijadikan hujjah. Contoh hadits ini
adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن
رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini
Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara
antara nabi dan bapaknya.
3) Hadits Munqothi’
Yaitu
hadits yang salah satu rawinya atau lebih dihilangkan atau tidak jelas, bukan
pada pada sahabat tapi bisa di tengah atau di akhir.
Contoh
hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى
إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat
yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah
al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi
Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits
yang munqotiq.
4) Hadits Mu’adlol
Yaitu
hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya.
Contoh :
يقال للرجل يوم القيامة عملت كذا وكذا؟
فيقول لا فيحتم على فيه
Hadits ini
berasal dari al-Sakbi dari Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak menyebutkan Anas
dan Nabi.
5) Hadits Mudallas
Yaitu
hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri
dibagi menjadi beberapa macam;
a.
Tadlis Isnad, adalah hadist yang disampaikan
oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri
dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadist tersebut langsung darinya..
Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadist
tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas
melainkan suatu kebohongan/ kefasikan. Contoh hadist mudallas sanad adalah :
b. Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan
beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau
misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam
beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti
itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal
sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf
(dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk
memotong).
c.
Tadlis ‘Athof (merangkai dengan kata sambung
semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadist dari
gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadist
tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan
perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadist tersebut
hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima
sebagai hadist shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang palin buruk
karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e.
Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat
kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya
nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur
dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang
yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang
sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f.
Termasuk dalam golongan tadlis
suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana
fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan).
Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum
dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau
karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadist
darinya dan lain sebagainya.
b) Dhaif karena hal lain diluar
ittisal al sanad.
Hadits dhaif yang disebabkan faktor
ini dibagi menjadi :
1) Hadits Maudhu’
Adalah hadits kontroversial yang di
buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Sedangkan menurut
Subhi Sholih adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan
kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.
Tanda-tanda sebuah hadits itu dapat
dikatakan maudu’ dapat dilihat sanadnya yaitu:
·
Rawi hadits terkenal sebagi
pembohong.
·
Perawi merupakan perawi tunggal.
·
Perawi mengaku sendiri bahwa hadits
itu adalah hadits maudu’.
·
Mengetahui sikap dan perilaku
perawi.
Sedangkan tanda-tanda dari aspek
matan antara lain:
·
Arti hadits itu kontra dengan hadits
yang lain yang lebih tinggi.
·
Bertentangn dengan al-Quran, sunnah
mutawatir atau ijmak.
·
Tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Contohnya adalah hadits tentang
keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat
Anas r.a
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه
يترجب فيه خير كثبر لشعبنا ورمضنا.
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn
Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadiits palsu.
2) Hadits Matruk
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang yang disangka suka berdusta. Contoh hadits ini adalah hadits tentang qadha’
al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa’id al
Asdi dari dhohak dari Ibn ‘Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه
يمنع مصارع السوء … الخ
Menurut an Nasa’i dan Daruqutni,
Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.
3) Hadits Munkar
Adalah hadits yang tidak diketahui
matannya selain dari rawi itu dan perawi itu tidak memenuhi syarat bias
dikatakan seorang dlobid. Atau dengan pengetian hadits yang rawinya
lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqoh. Munkar sendiri tidak hany
sebatas pad sanad namun juga bis aterdapat pada matan.
4) Hadits Majhul
a. Majhul ‘aini : hanya diketahui seorang saja
tanpa tahu jarh dan ta’dilnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan
oleh Qutaibah ibn Sa’ad dari Ibn Luhai’ah dari Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn
Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa’id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح
وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai’ah yang
meriwayatkan hadits dari Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi Waqas tanpa
diketahui jarh dan ta’dilnya.
b. Majhul hali : diketahui lebih adari sati orang
namun tidak diketahui jarh dan ta’dilnya.contoh hadits ini adalah haditsnya
Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه
البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul
hali.
5) Hadits Mubham
Yaitu hadits yang tidak menyebutkan
nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari
seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر
خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadits Syadz
Yaitu hadits yang beretentangan
dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat.
Selain
hadits diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha’if antara
lain Hadits maqlub, matruh, mudhtharab, mudha’af , mudarraj,
mu’allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya lihat ‘Abdur
Rahman al Mun’im as Salim, Taisir al ‘Ulum al Hadits dan juga Ujjaj
al-Khotib Ushul al-hadits
lihat
syarah Shahih Muslim juz 1 hal 19, lihat juga Ujjaj al-Khotib Ushul
al-hadits..337 dan qowaid al-hadits hal 86).
Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul.. hlm,
97
al Mun’im as Salim, Taisir al
‘Ulum.., hlm, 50-54
Umar
Hasyim, , Qowaid al-Ushul.. hlm. 108. Definisi tentang tadlis isnad
sebenarnya sangat beragam, seperti Ali Rowad dalam bukunya Ulum al-Quran Wa
al-Hadist menambahkan dengan kata-kata “ atau dari orang yang semasa dengan
perawi dan ia tidak pernah bertemu dengannya namun memberi gambaran seolah-olah
ia mendengar langsung darinya.
Sedangkan
Ibnu Sholah dan an-Nawawi menamakan tadlis sanad dengan mursal khofi lihat Alwi
al-Maliki, al-Munhil Fi…., hlm, 108).
Dalam
masalah ini penulis cenderung lebih sepakat pada pendapat Umar-yang juga
didukung oleh Ibnu Hajar- yang memisahkan antara kedua definisi tersebut, yaitu
bila hadist diriwayatkan dari orang yang semasa dan perawi pernah bertemu namun
tidak mendengar hadist tersebut secara langsung maka disebut mudallas.
Sedangkan apabila hadist diriwayatkan dari orang yang semasa namun perawi tidak
pernah bertemu dan ia menggambarkan seolah-olah pernah bertemu dan mendengar
hadist langsung hadist tersebut maka dinamakan dengan mursal khofi.
Dengan demikian ada garis perbedaan diantara keduanya, yaitu pada permasalahan
apakah perawi yang meriwayatkan dari orang yang semasa pernah bertemu atau tidak.
Ahmad
Muhammad Ali Rowad, Ulum al-Quran Wa Al-Hadist, Amman:Dar al-Basyir 1983
hlm, 205
al Mun’im as Salim, Taisir al
‘Ulum.., hlm, 61-94
Umar Hasyim hlm, Qowaid
al-Ushul.. hlm, 112
Untuk lebih jelas pembagian serta
contohnya lihat al Mun’im as Salim, Taisir al ‘Ulum.., hlm,73-79
Ibid, hlm 80-83
Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Shahih
Pengertian hadits shahih adalah
sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah
Serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut. Atau dalam istilah
lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.
Dari pengertian ini dapat kita ambil
kesimpulan bahwa kriteria hadits shahih adalah
a) Tersambung sanadnya (ittisal
as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi
kerowi di atasnya sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti’,
muaddlol, mullaq dan mursal.
b) Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah
(‘adil dan dhabit)
Adil adalah sifat yang yang ada pada
seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya.
Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
Dlabit adalah sifat terpercaya, hafal di
luar kepala, mengetahui arti hadits,dan mampu untuk menceritakan
setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadits. Dlabit sendiri
dibagi menjadi tiga tingkatan:
Tingkat pertama ( al-darojah
al-ulya) yang ada pada ‘adil dan dlobid
Tingkat kedua (al-darojah
al-wustho) tingkatan yang ada di bawahnya
Tingkat ketiga (al-darojah
al-dunya) bawah tingkat kedua.
c) Hadits yang diriwayatkan bukan
termasuk kategori hadits yang syadz
d) Hadits yang diriwayatkan harus
terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits
menjadi turun. .
Hadits shohih terbagi menjadi dua;
a) Shohih lidzatihi adalah sebuah hadits ayng mancakup
semua syarat hadits shohih dan tingkatan rowi berada pada tingkatan pertama.
Contoh;
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار
Sehingga apabila sebuah hadits telah
ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits
berada pada tingkatan kedua maka hadits tersebut dinamakan hadits Hasan
b) Shohih lighoirihi
Hadits ini dinamakan lighoirihi
karena keshohihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits
yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlobid
seorang rowi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits
hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh
hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama,
yang diriwayatkan melalui jalur lain. Contoh hadits dari Muhammad bin Amr dari
Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi bersabda
لو
لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Letak hadits ini masuk pada kategori
lighorihi. Menurut Ibnu Sholah memberi alasan karena pada Muhammad
bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan,
ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur
lain, yaitu oleh al A’raj bin Humuz dan sa’id al Maqbari maka bias
dikategorikan shohih lighirihi.
Cara mengukur keshohihan hadits..
Untuk
mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari
beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih.
Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka
secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita
meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits
tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya
berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka
dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi.
Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan
satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang
pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk
hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi.
Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya
menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan
apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi
dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakana hadits tersebut adalah
hadits shahih lighoirihi.
Adapun
derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih dalam segi kehujjahannya,
sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadist shahih. Oleh karena itu
mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli Ushul)
berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh
mengamalkannya.
Pendapat
berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang
menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan hujjah.
Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu Hibban,
Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis hadist yang bisa
dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits sahih.
Sedangkan
untuk hadits dhaif Ulama juga berbeda pendapat, yaitu :
·
Mutlak tidak bisa diamalkan baik
yang terkait dengan hukum maupun Fadhail al A’mal, menurut
Abu Hatim, Bukhori Muslim, dan Abu Bakr ibn al ‘Arabi.
·
Mutlak bisa di amalkan asalkan di tahrij
oleh Abu dawud dan Ahmad ibn Hanbal.
·
Bisa diamalkan ketika terkait dengan
Fadhailul a’mal, nasihat dan sebagainya. Selain hukum.inipun harus
dengan catatan apabila tidak sangat dha’if dan harus bersamaan
dengan riwayat pendukung.
Peran At-Tabi’ dalam analisis
kualitas Sanad
Sebelum kita mengetahui lebih jauh
peran mutabi’ terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu
mengetahui apakah pengertian at tabi’. Mutabi’ merupakan isim fa’il
taba’a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian terminologinya adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berkapasitas sebagai al-
mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan hadits yang yang
diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu meriwayatkan dari guru
perawi pertama atau dari guru gurunya perawi. Pengertian lain mutabi’ adalah
hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas
sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru
rawi pertama atau dari guru gurunya rawi pertama. Kesesuaian tadi bisa dalam
ma’na, redaksi ataupun keduanya.
Posisi mutabi’ sangat berpengaruh
terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang
dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan sebagai hadits
shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur
lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih
lighoirihi atau hasan lighoirihi.. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Syafii dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi
ألشهر
تسع وعثرون فلا تصوم حتى تروا ألهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم
فأكملوا العدة ثلاثين يوما
Hadits ini
dinilai ghorib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafii dari Malik. Akan
tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari Abdullah bin
Maslamah al-Qo’nabi dengan jalur sanad yang sama.
Tsiqah adalah seseorang yang mempunyai
sifat ‘adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas moral
maupun intelektualnya.
al-Qosimi,
Qawaid al Tahdits…,hlm, 79, Umar Hasim, Qowaid
al-Ushul.. , hlm, 39. Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits.., hlm, 305.
Dr. Ahmad Umar Hasyim, Qawaid
Ushul al-hadits, (tt: Dar al-Fikri, t.th), hlm 39.
Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul.. hlm.
77
Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits..,
hlm, 351
al Mun’im as Salim, Taisir al
‘Ulum.., hlm 36-37
Dr. Subhi Sholih, Membahas
ilmu-ilmu hadist, terj, 1997, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm, 241
Umar
Hasyim, Qowaid al-Ushul…., hlm, 168
assalamualaikum, mohon rujuk surah At-Thur di atas, tertulis di atas ayat ke 24, tapi yg betulnya ialah ayat 34...
BalasHapus